"Bhumi Laya Ika Tantra Adi Raja"
ya
bhumi pasareyane raja-raja agung kang mahardhika
mahanani
dadya tirta kang amartani tuwuhing jalma kang
tansah
amundhi dharmaning satriya tama nggone sedya
labuh
mring nagari.
Meresapnya Air Kedalam Blitar Yaitu
Bumi Pusara Raja-Raja Agung Yang
Merdeka Menjadi Timbulnya
Sumber-Sumber Air Yang Berpengaruh
Menumbuhkan Manusia Yang Senantiasa
Berkehendak Mendharma Bhaktikan
Dirinya Sebagai Satria Utama Untuk
Negara.
Blitar sebuah tempat yang sejuk,
tenang dan damai, jauh dari hingar bingar kekuasaan, tidak pernah menjadi
sebuah wilayah pemegang kekuasaan negeri ini, baik dari zaman singosari,
Kediri, majapahit, demak, pajang sampai mataram islam, namun bukan berarti
tanpa prestasi, tanpa tokoh dan tidak
diperhitungkan dalam sejarah panjang bangsa ini.
Tokoh – tokoh besar bangsa ini banyak yang
tidak bisa dipisahkan dengan blitar, sebut saja Ir. Soekarno sang proklamator
bangsa ini yang diakui sebagai orator ulung dunia, soepriyadi yang membuat geger
jepang jaman pendudukan, gajah mada sang mahapatih majapahit yang mampu
mempersatukan Nusantara konon juga tidak bisa dipisahkan sejarahnya dari
wilayah ini, serta masih banyak lagi yang akhirnya membuat Ir.
Drs. Poerwanto P., MA merasa perlu menggagas sebuah buku wong blitar yang
berisi tokoh-tokoh blitar, dengan harapan semangat dan kebanggaan itu bisa
menular dan menginspirasi generasi penerus untuk melanjutkan perjuangan dari
para pendahulu.
Blitar memang
kota kecil, lokasinya pun di “pedalaman” Jawa Timur, bagian selatan yang
relatif merupakan wilayah tertinggal dibandingkan dengan bagian utara. Tetapi meskipun
demikian, orang Blitar boleh bangga, “walaupun kota kecil tetapi memiliki Bung
Karno”. Bung Karno dimakamkan di Blitar. Berkaitan dengan makam orang besar,
Blitar sering berbangga karena memiliki candi Panataran dan candi Simping yang
konon adalah berkaitan dengan (makam) tokoh Sang Radjasa, “Ken Arok” pendiri
Singasari, dan Sanggrama Widjaya pendiri Madjapahit, sehingga layaklah orang
Blitar mendapat sebutan “Bhumi Laya Ika Tantra Adi Raja”, “Bumi tempat Pusara raja-raja agung yang berdaulat”.
Sudah sejak zaman majapahit blitar menjadi daerah yang diperhitungkan oleh para penguasa, itu dibuktikan dengan pendirian candi-candi dan sering berkunjungnya para raja, dapat dilihat di sebuah catatan bahwa pada tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357
Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau
daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu
mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun
tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang
berbeda ke daerah ini.
Berdasarkan legenda, dahulu Bangsa Tartar dari asia timur
sempat menguasai tanah Blitar, tentara Tartar ini menurut sejarah secara tidak
langsung berjasa terhadap berdirinya kerajaan majapahit menumpas raja Jayakatwang dari Kediri, sebuah kerajaan bawahan yang menelikung singosari ketika
giat-giatnya raja Kertanegara melakukan ekspansi ke wilayah sumatera, setelah Kediri
hancur tentara tartar menagih upeti kepada raden Wijaya termasuk dua puteri
kerajaan sebagai bentuk pengakuan tanah jawa takluk kepada kaisar mongol,
setelah berunding dengan para pembantunya yaitu Arya Wiraraja, Lembu Sora, Ronggolawe, Nambi
dll maka diputuskan tidak akan takluk pada bangsa tartar, sebaliknya segera
disiapkan pasukan untuk menyerang secara mendadak pasukan Tartar yang masih
berpesta pora di Dhaha, karena tidak menduga bakal diserang dari beberapa
penjuru maka pasukan tartar kocar-kacir tidak mampu menghadapi gempuran yang
datang, berdasar laporan jendral yang dengan susah payah bisa kembali, dalam
perjalanan menuju ke kapal memerlukan waktu 3 hari dan korban tewas sebanyak
3000 pasukan karena begitu sengitnya serangan di setiap jalan yang dilalui.
Serangan mendadak dan dari beberapa penjuru menyebabkan
banyak pasukan Tartar tercerai berai, banyak yang tewas, sebagian besar kembali
ke kapal untuk pulang ke mongol dan sisanya melarikan diri ke beberapa tempat
untuk menyelamatkan diri, dari beberapa yang selamat sampailah di pulau jawa
bagian selatan yang kala itu belum bernama Blitar, disana mereka berubah
menjadi begal dan rampok sehingga sangat mengganggu ketentraman rakyat, Majapahit
sebagai penguasa nusantara saat itu merasa perlu untuk merebutnya, untuk
mengembalikan wibawa dan ketentraman Negara.
Kerajaan adidaya itu mengutus Nilasuwarna untuk memukul
mundur Bangsa Tartar. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo adalah salah
satu putra dari Adipati Wilatika Tuban, akhirnya berangkatlah beliau di ikuti
oleh para prajurit dari majapahit ke selatan menuju pantai selatan jawa, setelah sampai di blitar segeralah terjadi pertempuran
yang sengit antara kedua pasukan, berkat kesigapan dan kedigdayaan yang
dimiliki oleh Nilasuwarna, akhirnya perlawanan tentara Tartar dapat dipatahkan
dan dipukul mundur, dipaksa pulang ke negeri asalnya Tartar mongolia, untuk
mengenang peristiwa tersebut, maka tempat tersebut dinamakan Balitar dari kata
jawa “Bali Tartar” yang artinya pulangnya bangsa Tartar.
Atas jasanya, ia akhirnya dianugerahi gelar Adipati
Aryo Blitar I oleh kerjaan Majapahit dan, Mulai saat itu
Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kekuasaan di bawah kerajaan majapahit,
Adipati Ariyo Blitar I menikah dengan Dewi Rayung wulan dan memiliki seorang
putra bernama Djoko kadung. Tapi tak di nyana ditengah pemerintahannya terjadi
pemberontakan yang di lakukan oleh patihnya sendiri yang bernama Ki Sengguruh
Kinareja, Setelah berhasil melakukan kudeta Ki Sengguruh Kinareja meraih tahta
dengan gelar Adipati Ariyo Biltar II. Mengetahui bahwa ayah kandungnya di bunuh
Djoko kadung pun akhirnya menuntut balas. Setelah berhasil menuntut balas Djoko
kadung pun di angkat menjadi Adipati Ariyo Blitar III.
Pada masa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, wilayah Blitar
relatif tidak banyak disentuh. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (dimulai dari
Demak, Pajang hingga era Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Yogyakarta)
kebanyakan memang berada di wilayah Jawa Tengah. Bahkan puncaknya
ketika Balitar di hibahkan kepada Belanda oleh Kerajaan Kartasura Hadiningrat
yang di pimpin Raja Amangkurat, akibat dari perjanjian dan lemahnya kerajaan
mataram saat itu, sehingga Blitar pun menjadi salah satu kekuasaan belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar